CERDAS
MEMAHAMI PEMIMPIN JELANG PILKADA 2020
(Mad Hadi Petir)
Banyak orang
mengatakan bahwa rakyat kita sudah cerdas, tidak mungkin bisa dibohongi. Itu
ungkapan yang berlebihan. Buktinya, rakyat sering gagal memilih pemimpin yang
baik. Baik artinya punya kapasitas dan integritas. Kapasitas diukur dari
perbaikan (adanya perubahan terukur ke arah yang lebih baik) yang sudah dibuat
oleh seorang pemimpin buat rakyatnya. Dan integritas artinya komitmen hukum,
moral dan loyalitas terhadap kebenaran selama memimpin.
Masih
banyaknya pemimpin daerah yang berurusan dengan penegak hukum, terutama KPK,
adalah bukti kegagalan rakyat memilih pemimpin. Fakta tersebut membuktikan
bahwa rakyat masih mudah dijadikan korban pencitraan.
Oleh karena
itu, masyarakat perlu cerdas memahami segala gerak-gerik politisi di media
sosial agar tidak terjebak kebohongan-kebohongan yang kemudian berimbas kepada
timbulnya ketidakpercayaan publik terhadap politisi yang nyata kerjanya dan
kelihatan hasilnya bagi kehidupan masyarakat itu sendiri.
Bagaimana
memahami gerak pencitraan politisi di ruang publik?
Hal utama yang
wajib diketahui masyarakat terlebih dahulu adalah ketika seseorang terjun di
dunia politik, integritas dan kapabilitas tidak cukup. Dia perlu melakukan
segala macam cara agar mampu menarik hati masyarakat. Dalam prosesnya, tidak
semua orang mampu mengenalkan dirinya kepada publik dengan kesan yang menarik.
Di situlah pencitraan merupakan kebutuhan berpolitik yang tidak bisa dihindari.
Sebagai kebutuhan,
pencitraan akan hadir dalam bentuk apa saja di ruang publik. Dalam situasi
tersebut, pertanyaan refleksi bagi kita adalah mau menjadi korban pencitraan
atau melawan balik agar kita benar-benar menuai pemimpin dengan kualitas cukup
baik.
Cara melawan
balik teramat sederhana yang paling mungkin bisa kita lakukan adalah memahami
arti pencitraan itu sendiri. Sebenarnya, pencitraan lebih berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan
untuk membentuk citra seseorang sesuai keinginan atau harapan publik guna
mendapatkan simpati. Kadang usaha itu dilakukan juga untuk menutupi sesuatu
yang buruk.
Mudahnya,
pencitraan adalah ’’pembungkusan diri’’ dengan gambaran yang disukai oleh
publik walaupun apa yang diberikan sebagai value atau nilai kadang
tidak jelas atau bahkan cenderung ’’kosong”. Oleh karena itu, pencitraan sering
dikonotasikan sebagai sebuah upaya sesaat yang tidak berkesinambungan dan tidak
akan pernah ada follow up-nya lagi.
Contohnya,
bila keinginan publik adalah melihat sosok yang baik, santun, mengutamakan
kepentingan orang banyak, semua kegiatan orang yang dicitrakan itu dirancang
dan dijalankan secara seksama, menggunakan beragam medium komunikasi agar cocok
dengan citra tersebut. Tiba-tiba mengunjungi pasar, tiba-tiba memberikan bantuan di rumah
yatim, memotret diri sedang memberikan sedekah dan berbagai macam hal lain yang
tidak lazim dia lakukan sebelumnya. Biasanya kegiatan pencitraan itu hanya
berlangsung sesaat. Sebab, tujuannya memang mengubah persepsi orang.
Untuk
menghindari metode pencitraan seperti itu, penulis masih percaya bahwa
masyarakat kita sudah cukup bisa membedakan mana yang masuk kategori pencitraan
dan mana yang bukan karena terlalu sering dipertontonkan di ruang publik kita
selama ini. Penulis
ingin kita mencoba lebih jeli lagi melihat figur dan rekam jejak calon pemimpin
kita pada masa yang akan datang, terutama menjelang pilkada serentak 2020.
Perlu adanya
pendidikan literasi digital yang akan sangat membantu masyarakat tidak menelan
mentah segala informasi di ruang publik media sosial kita. Itu penting,
mengingat pencitraan sering dibungkus dalam berbagai macam
kemasan. Variasi kemasan tersebut membuat masyarakat tanpa sadar sedang
dipaksakan menerimanya tanpa bisa memilih.
Penulis yakin
literasi digital cukup membantu masyarakat dalam menjembatani pertemuannya
dengan sosok calon pemimpin mereka di ruang nyata. Terjadi keseimbangan di antara
keduanya. Keseimbangan akan mengarah kepada diminimalkannya aksi atau tindakan
pembohong publik di ruang interaksi kita di media sosial. Pencitraan terserbut
baik, tetapi harus tetap seimbang antara apa yang terjadi di dunia nyata dengan
apa yang dicitrakan di dunia maya. Terutama soal kapasitas dan integritas
seorang calon pemimpin kita. (*)
Komentar
Posting Komentar