Langsung ke konten utama
GP ANSOR DALAM JENJANG KADERISASI
Oleh: Muhammad Makhdum*)

Mind set kaderisasi, idealnya  dimulai dari kader kemanusiaan, kader kebangsaan, kemudian kader keumatan (agama), dan terakhir kader organisasi. Mengapa kader kemanusiaan harus diletakkan dalam urutan pertama? Karena kita dilahirkan ke dunia dalam wujud manusia dan hidup bersama dengan manusia, sehingga merupakan sebuah keniscayaan memiliki sifat dasar kemanusiaan. Kemanusiaan inilah yang nantinya akan menjadi pijakan dan menuntun manusia untuk menunaikan tugas utama sebagai pemimpin sekaligus menjadi rahmatan lil ‘alamin (menebarkan kasih sayang kepada semua makhluk di muka bumi), tanpa membeda-bedakan agama, budaya, suku, bahasa, apalagi hanya sekedar perbedaan organisasi.

Sebagai kader kebangsaan, kepedulian terhadap berbagai persoalan bangsa tidak kalah penting. Semua warga negara wajib menjaga kehormatan bangsa, menumbuhkan dan memelihara kebangsaan kita sendiri, yaitu Indonesia. Selain sebagai bangsa, kita juga hidup sebagai umat beragama. Sebagai umat Islam, kita juga tidak boleh mengabaikan persoalan umat Islam. Kita bahkan berkewajiban untuk memperjuangkan kepentingan dan kemaslahatan umat Islam, dan inilah tugas yang harus diemban oleh kader keumatan. 

Urutan kaderisasi terakhir adalah kader organisasi. Mengapa menjadi kader organisasi diposisikan sebagai yang terakhir dalam urutan kaderisasi? Karena jika kaderisasi dimulai dari kader organisasi, maka seorang kader akan terbatas ruang geraknya dan terkungkung oleh tempurung pemikirannya sendiri. Katakanlah jika seorang kader itu sejak semula dididik dan digembleng dalam sebuah organisasi, maka militansi perjuangannya hanya sebatas pada kepentingan organisasi dan mengalahkan kepentingan lain dalam lingkup yang lebih luas.

Saat ada kader Ansor ---sudah barang tentu juga kader NU--- terjun dalam politik praktis, maka pola pikir yang dibangun dan didahulukan harus mengacu pada kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan partai politik yang bersangkutan, terlebih untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu kader Ansor tidak boleh alergi terhadap politik, apalagi buta politik. Jika ada kader yang masuk politik, maka harus dipertanyakan dulu untuk apa masuk politik. Jika pertanyaan ini sudah terjawab dengan benar maka berjuang dalam politik adalah keharusan, menambah wawasan politik dan kebangsaan adalah sebuah keniscayaan, dan memperkuat mental spiritual merupakan suatu kewajiban. Apabila hal ini dapat dilakukan, maka kader Ansor yang masuk dalam politik akan menjadi petarung yang dapat diandalkan, bukan malah pulang menjadi pecundang.

Politik adalah ranah abu-abu dan penuh spekulasi. Politik dapat membawa kader menuju istana atau bahkan penjara. Para kader muda yang ingin masuk ke sana harus memiliki tujuan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Yang jelas, jangan mengacaukan organisasi, lebih-lebih menggunakan organisasi sebagai batu loncatan menuju panggung politik.

Para kader politik yang sukses dan mampu bertahan dari godaan kekuasaan adalah mereka yang sekaligus memiliki kualitas sebagai negarawan. Ada perbedaan mendasar terhadap cara pandang politisi dan negarawan. Jika politisi hanya melihat yang dekat-dekat dan jangka pendek, maka negarawan akan melihat yang jauh ke depan dan lebih panjang. Meskipun relatif sulit, sesungguhnya di sinilah para kader Ansor dapat mengambil peran yang strategis dan aman. Adalah sebuah keberuntungan yang sangat besar jika kita semua mau dan mampu berorganisasi dengan baik untuk berjuang bersama demi kemaslahatan umat.

Marilah kita membedakan gerakan Ansor dengan gerakan partai politik. Jika politik itu menyediakan pahala dalam jangka pendek, maka gerakan Ansor menyediakan pahala yang jauh lebih besar tetapi belum tentu juga bisa kita dapatkan. Mengurus organisasi seperti Ansor itu benar-benar melelahkan dan sering makan hati. Namun jika dilandasi dengan keikhlasan, maka akan menjadi sumber kebahagiaan dan tidak akan jatuh miskin. Sebagai contoh, banyak sekali kiai kampung di pelosok ranting yang jauh dari publikasi tetapi perjuangan mereka sangat sangat ikhlas. Dari sosok seperti itulah kader muda seharusnya bercermin. Wallahu a’lam bisshawab.


*) Ketua PAC GP Ansor Kecamatan Widang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH KELAM PEMBUNUHAN SESAMA MUSLIM YANG TAK PERNAH TERLUPAKAN Gelombang JARGON Kembali ke Al Qur'an dan As Sunnah Sangat Deras Sekali . Sebuah fenomena ??? Akankah terulang Sejarah Akhir priode khulafaur rosyidin di NKRI yg kita cintai .... ?  “Hukum itu milik Alloh, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Itulah teriakan Abdurrohman bin Muljam Al Murodi (Khowarij) ketika menebas tubuh Sayyidina Ali bin Abi Tholib, karomallohu wajhah pada saat bangkit dari sujud sholat Shubuh pada 19 Romadlon 40 H itu. Abdurrohman bin Muljam menebas tubuh Sayyidina Ali bin Abi Tholib dengan pedang yang sudah dilumuri racun yang dahsyat. Racun itu dibelinya seharga 1000  Dinar. Tubuh Sayyidina Ali bin Abi Tholib mengalami luka parah, tapi beliau masih sedikit bisa bertahan. 3 hari berikutnya (21 Romadlon 40 H) nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rosululloh SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang muslim yang selalu merasa paling Islam. Sayyidina...
Kopiah Hitam Sebagai Simbol Patriotisme KOPIAH adalah tutup kepala yang terbuat dari beludru warna gelap dengan ketinggian antara 6 sampi 12 Cm. Dari segi bentuk merupakan modifikasi antara torbus Turki dengan peci India. Di tempat lain kopiah juga disebut sebagai songkok ada juga yang menyebut peci. Kopia ini sudah cukup lama dipakai oleh masyarakat Islam Nusantara terutama kalangan pesantren. Dikisahkan bahwa seorang santri Sunan Giri Gresik dikenal sebagai raja cengkeh, karena kalau pulang ke kampung halamannya Maluku selalu membawa kopiah, sambil menyiarkan Islam di daerah yang dulu dikenal dengan nama Hitu itu  membawa kopiah, setiap sebuah kopiah diganti oleh masyarakat setempat dengan cengkih yang banyak sekali, sehingga ketika kembali ke pesantren Giri santri tersebut membawa cengkih yang amat banyak, yang sangat laku di Gresik. Demikian juga santri Giri yang pulang ke daerah asalnya juga selalu membawa kopiah, sehingga tutup kepala yang satu ini me...
SYEKH 'IZZUDDIN BIN' ABDUSSALAM Izzuddin bin 'Abdussalam adalah ahli fiqih (fuqaha') dari madzhab Syafi'i yang terkenal wara ', tawadhu' dan zuhud. Namun, sikap tawaddu'nya sama sekali tidak ada sama keberaniannya mengkritik kekeliruan seorang raja. Syaikh Izzuddin pernah mempin kaum Muslimin. Ia bergelar Sulthan al-Ulama '(pemuka para ulama'). Nama lengkap Syaikh Izzuddin adalah Abu Muhammad Izzuddin Abdul Aziz bin Abdis Salam bin Abu al-Qasim bin al-Hasan bin Humman al-Salami al-Dimasyqi al-Syafi'i. Dilahirkan di Damaskus pada tahun 577 H. Pidato ulang jenis lain lahir pada tahun 578 H. "Izzuddin" (kemuliaan agama) adalah gelar yang diberikan berkatkarya kepakarannya dalam agama. Beliau juga disebut Sulthan al-Ulama (pemuka para ulama '). Gelar ini diberikan oleh muridnya, Ibnu Daqiq al-'Id sebagai bentuk penghargaan atas atas kerja keras kedekatan para ulama pada masanya. Usaha itu diimplementasikan dalam sikap-s...