Dedengkot
NU yang Tak Pernah Lepas Peci dan Sarung
KH WAHAB CHASBULLAH
Selain
Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari, dikenal pula nama KH Wahab Chasbullah yang
disebut-sebut sebagai ‘dedengkot’ Nahdlatul Ulama (NU). Namanya memang tak
setenar KH Hasyim Asy’ari. Namun, kiprahnya dalam membesarkan organisasi
kemasyarakatan Islam terbesar di Tanah Air ini, tak bisa dikecilkan.
Kiprahnya di
panggung politik pada periode awal kemerdekaan pun dicatat sendiri oleh
sejarah. Kiai Wahab bersama kaum pergerakan lainnya, seperti, Ki Hajar
Dewantoro, Dr Douwes Dekker, Dr. Rajiman Wedyodiningrat, duduk dalam Dewam
Pertimbangan Agung, kemudian berkali-kali duduk dalam kursi parlemen sampai
akhir hayatnya pada 1971.<>
Namun, Rais
Aam NU pertama yang juga pendiri Sarikat Islam (SI) Cabang Makkah itu pun
dikenal sangat bersahaja dan sederhana. Ia juga dikenal sebagai kiai yang tak
pernah meninggalkan identitas ke-NU-annya. Ia selalu setia mengenakan sarung
dan serban. Pakaian semacam itu ia kenakan juga saat berada di parlemen, Istana
Presiden atau di front pertemuan.
“Beliau
(Kiai Wahab, Red) ke mana-mana selalu pakai peci, kadang serban. Ke luar
negeri, kalau diajak Bung Karno, ke Rusia, Eropa, Amerika Serikat, mesti pakai
sarung dan peci,” katat Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said
Aqil Siraj.
Bahkan,
tutur Kang Said—begitu panggilan akrabnya—suatu ketika, Kiai Wahab berbicara
dalam sidang parlemen. Sebelum naik podium, ia terlebih dahulu membetulkan
letak serbannya. Pada saat itu, katanya, ada mulut usil nyeletuk, “Tanpa serban
kenapa sih?” Sambil menunjuk serbannya, Kiai Wahab kontan menjawab, “Serban
Diponegoro!”
Ketika
berdiri di podium, sang kiai, sambil menunjuk serbannya berkata, “Pangeran
Diponegoro, Kiai Mojo, Imam Bonjol, Teuku Umar, semuanya pakai serban.” Karuan
saja ruangan sidang dipenuhi gelak tawa anggota parlemen.
Peran paling
menonjol dari Kiai Wahab dalam hal ini adalah sebagai negosiator antara
kepentingan NU dan pihak pemerintah. Tidak heran, dengan fungsinya itu Kiai
Wahab sangat dekat dengan presiden dan pejabat tinggi lainnya.
Dalam intern
NU sendiri puncak karier Kiai Wahab adalah ketika bersama-sama tokoh muda
lainnya, seperti, KH Wahid Hasyim dan Idham Chalid menjadikan NU sebagai partai
politik bersaing dengan partai lainnya yang lebih dahulu mapan dalam gelanggang
politik Indonesia dan diterima secara bulat dalam Muktamar NU tahun 1952.
Pada waktu
itu, situasi hubungan antara NU dan Masyumi dan juga tokoh-tokohnya amat
tegang. Meskipun Dr. Sukiman sendiri menyaksikan peristiwa keluarnya NU dari
Masyumi, hal itu tidak cukup untuk mengatasi situasi tersebut. Situasi ragu dan
tegang juga menghantui pengikut dan pimpinan NU yang semula duduk dan aktif
dalam Masyumi. Dalam situasi seperti itu, Kiai Wahab tampil dengan sikap
khasnya, yaitu tegas dan berwibawa.
Katanya,
“Siapa yang masih ragu, silakan tetap dalam Masyumi. Saya akan pimpin sendiri
partai ini (NU). Saya hanya memerlukan seorang sekretaris dan Tuan-tuan silakan
lihat apa yang akan saya lakukan!”
Alhasil.
Beberapa tahun kemudian, dalam Pemilu 1955 Partai NU keluar sebagai salah satu
partai terbesar di samping PKI, PNI dan Masyumi.
Kiai Wahab
juga dikenal sebagai pengatur strategi perjuangan NU yang baik dalam kancah
pergolakan dan turun naiknya politik Islam, mulai dari pembentukan MIAI
(Majelis Islam A’la Indonesia), GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia),
Masyumi, sampai NU keluar dari partai Islam tersebut. (rif)
Komentar
Posting Komentar